JAKARTA-Pengembangan program jaminan sosial ketenagakerjaan penting tidak hanya untuk melindungi kesejahteraan pekerja/buruh, tetapi juga untuk menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi yang lebih baik. Oleh karenanya, BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggaraan program jaminan sosial ketenagakerjaan harus terus berinovasi untuk mengembangkan manfaat program maupun cakupan kepesertaan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, saat membuka Forum Komunikasi Jaminan Sosial Tenaga Kerja, di Jakarta, Rabu (4/12/2024).
“Dalam beberapa kesempatan Pak Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pentingnya pelindungan bagi tenaga kerja Indonesia. Fokus beliau tidak hanya terbatas pada pekerja formal, tetapi juga pekerja migran dan sektor informal yang seringkali tidak terjangkau oleh sistem pelindungan sosial,” kata Yassierli.
Dalam forum yang dihadiri stakeholders ketenagakerjaan seperti dinas ketenagakerjaan, NGO, ILO, akademisi, organisasi pengusaha, dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) tersebut, Yassierli memaparkan Konsep 5E untuk mengembangkan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pertama, engineering, di mana regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang jaminan sosial ketenagakerjaan haruslah dinamis. Hal ini untuk memastikan regulasi dan kebijakan tersebut dapat berjalan efektif.
“Tidak ada desain regulasi dan kebijakan yang terbaik, yang sempurna. Makanya regulasi itu harus dinamis, tergantung dinamika, dan tergantung harapan kita atas dinamika tersebut,” katanya.
Poin kedua dan ketiga yakni education and empowerment, di mana pemangku kepentingan, khususnya pemerintah, memiliki langkah-langkah preventif-promotif untuk memastikan kebijakan dan program jaminan sosial ketenagakerjaan benar-benar dapat melindungi pekerja/buruh. Selain itu, langkah-langkah tersebut juga harus dapat meyakinkan pelaku usaha bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan akan membantu meningkatkan daya saing dan produktivitas usahanya.
“Seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dapat melindungi pekerja ketika terjadi kecelakaan kerja, namun juga meningkatkan kesadaran di lingkungan kerja untuk meningkatkan standar keselamatan agar tidak terjadi kecelakaan kerja,” kata Yassierli memberi contoh.
Keempat, envorcement, di mana hukum harus ditegakkan ketika ada pelanggaran terkait jaminan sosial ketenagakerjaan. “Ketika education and empowerment sudah dilakukan tetapi masih ada pelanggaran maka hukum harus ditegakkan,” tegasnya.
Kelima, evaluation, di mana seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem jaminan sosial yang berlaku. Salah satu bentuknya adalah Forum Komunikasi Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang sedang diselenggarakan.
“Oleh karenanya, selain menjadi forum silaturahmi, kita jadikan forum ini sebagai forum evaluasi tentang apa yang bisa kita tingkatkan. Apa rekomendasi agar kita lebih baik ke depan,” ujarnya.
Dirjen PHI dan Jamsos, Indah Anggoro Putri, mengatakan, Forum Komunikasi Jaminan Sosial Tenaga Kerja diselenggarakan untuk membangun silaturahmi dan jejaring komunikasi antara Kemnaker dengan praktisi hubungan industrial dan jaminan sosial, termasuk akademisi serta para pemangku kepentingan bidang jaminan sosial di pusat, provinsi, serta kabupaten/kota.
“Forum ini kami harapkan dapat mendiskusikan hal-hal yang masih belum optimal, belum baik dalam pelaksanaan kebijakannya, termasuk semua program di BPJS Ketenagakerjaan, dan masukan tersebut akan menjadi masukan bagi kami sehingga ke depan, tahun 2025, kami dapat lebih baik lagi dalam memastikan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi seluruh pekerja di Indonesia dan pekerja migran Indonesia,” katanya. Tim Biro Humas Kemnaker.