KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 24 Desember 2024 menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan, Hasto Kristianto, sebagai tersangka dan mencekalnya ke luar negeri berkaitan dengan kasus dugaan suap Harun Masiku, buronan KPK.
Ketika untuk pertama kali menanggapi penersangkaan dan pencekalan dirinya, Hasto meperlihatkan buku karya jurnalistik seorang wartawan bernama Cindy Adam tentang Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Bab sembilan buku tersebut berisi tentang prinsip “Politik Nonkooperatif” Bung Karno ketika mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. dalam perjuangan melawan bangsa penjajah demi mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat.
Konsekuensi prinsip politik nonkooperatif tersebut adalah: Bung Karno harus mengalami pembuangan dan masuk-keluar penjara. Alhasil sejarah kemudian membuktikan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang kita nikmati sekarang.
Menurut Hasto Kristianto, karya jurnalistik Cindy Adam tersebut menjadi “Kitab Perjuangan” bagi dirinya dan seluruh kader PDI-Perjuangn.
PNI Cikal Bakal PDI-Perjuangan
Bung Karno pernah mengatakan, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Disingkat menjadi JAS MERAH. Ungkapan terkenai itu perlu menjadi pegangan generasi milenial atau generasi Indonesia zaman “Now” untuk mempelajari sejarah, terutama sejarah Indonesia.
Dalam kerangka belajar dari sejarah itu perlu diketahui bahwa PNI adalah cikal bakal PDI-Perjuangn yang sekarang. Pada zaman Orde Lama-Bubg Karno, PNI merupakan salah satu partai dari sembilan partai politik sebagai wahana demokrasi bagi rakyat untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara Indonesia.
Selanjutnya pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan penyederhanaan partai menjadi dua saja. Pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan fusi atau gabungan dari partai-partai berbasis ideologis Islam.
Kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang meruapakan fusi dari PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Musyawarah Masyarakat Baru (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaa Indonesia (IPKI).
Ditambah lagi Golongan Karya (Golkar) yang bisa disebut juga sebagai “Partai ABG” alias ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Bukan partai “Anak Baru Gede”. ABG sebagai partai milik rezim militeristik Soeharto itu selalu harus menang pemilu selama 32 tahun Orde Baru.
Di era Reformasi lahirlah PDI-Perjuangan, buah dari perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri melawan rezim otoriter-militeristik Soeharto.
Nonkooperatif Melawan Bangsa Sendiri?
Pertanyaan: Masih aktual dan relevankah Politik Nonkooperatif Bung Karno itu untuk Indonesia zaman “Now”? Untuk menjawab pertanyaan ini, camkan baik-baik ucapan Bung Karno bahwa “Perjuangannya lebih mudah karena melawan bangsa penjajah. Peerjuangan bangsa Indonesia tidak mudah karena melawan bangsa sendiri”.
Melawan bangsa sendiri? Ya, benar melawan bangsa sendiri! Artinya? Bangsa penjajah model zaman dulu memang sudah tidak ada. Tetapi watak penjajahan tidak pernah hilang, melainkan bermetamorfosa atau berubah bentuk menjadi “Rezim otoriterian-eliter-koruptif” yang menjajah bangsa dan rakyatnya sendiri, Indonesia.
Dalam bahasa Latin, kata “coruptus” berarti rusak, busuk, jahat. Jadi, rezim otoriterian eliter adalah rezim yang busuk dan jahat serta neokolonialis dan neoimperialis. Dua terminologi stigmatis ini, menurut saya, tetap aktual dan relevan.
Nah, terhadap model penjajahan “gaya baru” seperti ini, rakyat Indonesia wajib, sekali lagi wajib, bersikap nonkooperatif atau tidak bekerja sama, harus kritis, tidak kompromi, tidak permisif, tidak ewuh pakewuh, tidak mikul duwur mendem jero berdalihkan “budaya ketimuran” yang munafik.
Rezim neokolonialis-eliter-otoriterian membentengi diri dalam “Lingkaran Setan Kolutif eliter antara elite kekuasaan, elite militer, dan elite politik serta elite hukum bersama kaum plutokrat-oligarki alias para penguasa uang untuk memonopoli sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Indonsia.
Piramida Korban Manusia
Dampak buruk dari rezim neokolonialis bangsa sendiri maupun neokolonialis bangsa asing zaman “Now” mengingatkan saya akan sosiolog Peter Berger dengan bukunya “Piramida Korban Manusia”.
Bahwa kemajuan peradaban suatu masyarakat atau bangsa biasanya dibangun dari dan atau di atas tumpukan korban manusia yang bersifat piramidal.
Menurut Peter Berger, dalam struktur masyarakat atau bangsa yang piramidal itu, ada kelompok elit manusia yang ibarat “burung hering pemakan bangkai yang lebih aktif memakan tumpukan bangkai”.
Kririk alegoris Peter Berger itu kalau dijelaskan secara sederhana dan singkat seperti begini: Ribuan bahkan jutaan rakyat tak berdaya yang berada di lapisan dasar struktur piramida masyarakat atau bangsa, biasanya menjadi korban dari watak dan perilaku rezim neokolonialis-eliter kleptokrat-koruptif, yang bercokol di atas puncak struktur piramidal masyarakat/bangsa
Rezim otoriterian-eliter kolufif yang koruptif-kleptomaniak itu adalah kumpulan “burung hering” pemakan bangkai kemiskinan dan kebodohan serta penderitaan jutaan rakyat Indonesia akibat ketidakadilan sosial-ekonomi.
Ditambah lagi tidak adanya perikemanusiaan yang adil dan beradab berupa pelanggaran hak-hak asasi manusia dan atau hak-hak rakyat Indonesia. Hak-hak tersebut dicantumkan secara eksplisit dan imperatif dalam sila kedua dan kelima dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Mengapa Tidak Mudah?
“Nubuat” politik Bung Karno tentang “tidak mudah melawan bangsa sendiri” benar-benar tergenapi. Sejak Orde Baru hingga zaman Reformasi, betapa tidak mudah melawan rezim otoriterian-koruptif neokolonialis-eliter bangsa sendiri. Mengapa tidak mudah?
Karena rezim otoriterian-eliter-koruptif-kleptomaniak itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara kekuasaan, bukan lagi negara hukum dalam praktik.
Kolusi atau persekongkolan jahat antara oknum elite kekuasaan, oknum elite militer, dan oknum elite politik serta oknum elite hukum bersama kaum oligarki/plutokrat, merupakan hambatan paling utama dalam melawan dan memberantas kolusi, kurupsi, dan nepotisme di negara ini.
Kolusi antara elite kekuasaan, elite bisnis, dan elite hukum merupakan “Segi Tiga Bermuda” berbahaya yang menghisap kekayaan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam Indonesia sehingga menyengsarakan rakyat.
Segi Tiga Bermuda itu betapa memandulkan penegakan hukum di negeri ini. Selain faktor hambatan utama di bidang penegakan hukum, faktor “budaya ketimuran yag murnafik”, juga merupakan hambatan dalam memberantas kejahatan kekuasaan. Seperti ewuh pakewuh, mikul duwur mendem jero, permisif, dan kompromistis.
Dan, last but not least adalah pengabaian dan pengingkaran terhadap prinsip moralitas dan etika politik dalam kehidupan berbangsa, bernegara,dan bermasyarakat.
Salus populi suprema lex dan vox populi vox Dei merupakan nilai-nillai dan prinsip-prinwip tertinggi moralitas dan etika dalam praksis kekuasaan, politik, dan hukum. Namun hanya llantang dipidatokan sambil sekaligus juga diabaikan.***
*) Penulis adalah cendekiawan masyarakat adat matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.