MENJAWAB panggilan menuju imamat adalah perjalanan rohani yang penuh dengan rahmat dan tantangan. Dalam perjalanan ini, seseorang diajak untuk mengenal dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Kristus, Sang Gembala yang Baik. Saya menyadari bahwa panggilan imamat bukanlah sekadar profesi, melainkan suatu cara hidup yang dipenuhi dengan pelayanan, doa, dan pengorbanan demi kemuliaan Allah dan keselamatan umat-Nya.
Saat ini saya menjalani masa diakonat di Paroki Tritunggal Mahakudus Terentang, Keuskupan Sanggau. Menjadi seorang diakon dalam Kongregasi Pasionis adalah perjalanan panggilan yang mendalam untuk berbagi kasih Kristus yang tersalib kepada dunia. Tahap ini bukanlah akhir, melainkan awal dari persiapan untuk pelayanan yang lebih penuh sebagai imam dalam proses pelayanan dengan berbagai cerita di setiap momennya.
Saya menyadari bahwa menjalani pelayanan pastoral di paroki dengan umat yang belum banyak memahami ajaran Gereja dan liturgi adalah pengalaman yang kaya akan tantangan sekaligus peluang. Sebagai seorang calon pastor dalam Kongregasi Pasionis, refleksi ini menjadi kesempatan untuk memperdalam panggilan dan misi hidup.
Kongregasi Pasionis memiliki spiritualitas mendalam pada misteri sengsara Kristus, yang tidak hanya mengajarkan empati terhadap penderitaan tetapi juga memanggil untuk membawa harapan dalam kegelapan. Dalam konteks umat yang kurang memahami ajaran Gereja, saya diundang untuk menjadi saksi kasih Kristus yang hidup melalui kesabaran, dedikasi, dan pelayanan penuh cinta.
Ada bebarapa hal penting yang saya alami selama menjalani panggilan dalam pelayanan di paroki:
Tantangan sebagai Ladang Misi
Ketika umat kurang memahami ajaran Gereja, kebingungan dapat muncul dalam praktik iman dan liturgi. Hal ini mengajarkan saya untuk tidak hanya menjadi seorang pengajar tetapi juga seorang pendamping yang penuh belas kasih. Kesederhanaan dalam menjelaskan iman adalah kunci untuk menjangkau hati mereka, sebagaimana Yesus sendiri mengajar dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang.
Peluang untuk Membawa Pembaruan
Kehadiran saya sebagai seorang calon pastor bukan hanya untuk menjalankan tugas rutin, tetapi untuk menanamkan semangat baru dalam komunitas. Liturgi, sebagai sumber dan puncak kehidupan Gereja, menjadi sarana penting untuk memperkenalkan umat pada pengalaman kasih Allah. Ini adalah momen untuk membantu mereka memahami keindahan iman Katolik.
Penguatan Panggilan Pasionis
Melayani di paroki yang penuh tantangan ini menguatkan panggilan saya sebagai seorang Pasionis. Saya belajar melihat penderitaan umat, baik dalam kebingungan rohani maupun kesulitan hidup sehari-hari, sebagai bagian dari salib yang Kristus panggil untuk saya pikul bersama-Nya. Saya merasa semakin terarah untuk menjadi tanda pengharapan dan kasih Allah di tengah umat.
Komitmen ke Depan
Sebagai pastor Pasionis, saya ingin terus menghidupi semangat Santo Paulus dari Salib dengan menghayati misteri salib Kristus dalam pelayanan saya. Saya akan mendorong umat untuk semakin mencintai Allah melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang iman mereka, dengan pendekatan yang penuh kesabaran, cinta, dan penghormatan pada martabat mereka sebagai anak-anak Allah. Pelayanan ini juga menjadi pengingat bahwa menjadi pastor bukan hanya soal menjalankan tugas, tetapi juga menjadi seorang pelayan yang membawa terang Kristus ke tengah dunia yang sering kali gelap dan penuh tantangan.
Saya menyadari bahwa panggilan menuju imamat adalah undangan dari Allah untuk menjadi perpanjangan tangan Kristus di dunia. Seorang imam tidak hanya menjadi pelayan sakramen tetapi juga saksi kasih Allah dalam kehidupan nyata. Ia dipanggil untuk menggembalakan umat, memberikan pengajaran, dan menjadi teladan iman. Sebagaimana Yesus berkata:”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” (Yohanes 15:16) Ayat ini mengingatkan bahwa panggilan ini adalah anugerah Allah, bukan semata-mata keputusan manusia.
Setelah melewati begitu banyak proses hingga saat ini, saya melihat bahwa setiap panggilan menuju imamat menghadapi tantangan, baik dari luar maupun dari dalam diri. Tantangan ini menjadi penguji apakah saya mampu bertahan dalam perjalanan saat ini. Namun, kekuatan selalu datang dari Allah yang memanggil. Dalam 2 Korintus 12:9, Rasul Paulus bersaksi:”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Kekurangan pribadi bukan menjadi alasan kita untuk berhenti mewartakan Rahmat Allah kepada semua orang.
Menjadi imam bukanlah kesudahan dari sebuah proses pembinaan, melainkan pembinaan yang kontinuitas. Proses pembinaan yang secara terus menerus dilakukan dengan maksud agar pelayanan dilakukan bukan atas nama saya sebagai pribadi tetapi atas nama Dia yang hendak diwartakan. Oleh karena itu, berdoa, mendalami firman Allah, pelayanan yang tulus dan komitmen pada pembentukan secara intelektual maupun spiritual adalah yang perlu saya persiapkan.
Seorang imam adalah seorang gembala yang hidup untuk umat, membawa Kristus kepada mereka, dan mempersembahkan hidupnya sebagai kurban kasih. Panggilan ini adalah tanggapan atas kasih yang besar dari Allah, dan melaluinya, seorang imam menjadi alat Allah untuk menyebarkan damai dan kasih-Nya kepada dunia.
Saya memilih motto panggilan dari Yes 6:8″Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ Maka sahutku: ‘Ini aku, utuslah aku!’” Kutipan ayat ini mengajarkan saya untuk menjadi pribadi yang mau mendengarkan. Hal ini mengajarkan bahwa panggilan Tuhan sering kali datang dalam momen keheningan atau saat kita membuka hati untuk mendengar-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, mendengarkan suara Tuhan membutuhkan doa, meditasi, dan kesediaan untuk mengenali tanda-tanda kehendak-Nya.
Jawaban Yesaya, “Ini aku, utuslah aku!” menunjukkan kesiapan total untuk menjalani misi Tuhan tanpa syarat. Hal ini menjadi teladan bagi saya untuk merespons panggilan Tuhan dengan iman, tanpa rasa takut atau keraguan. Panggilan Yesaya tidak hanya bersifat personal, tetapi juga misi yang membawa kabar baik kepada bangsa Israel. Demikian pula, saya dan setiap orang yang menerima panggilan Tuhan dipanggil untuk menjadi saksi kasih-Nya dalam hidup sehari-hari. Kesetiaan kepada misi ini adalah bentuk cinta kepada Tuhan dan sesama.
Yesaya mengajarkan bahwa ketika Tuhan memanggil, Dia juga memberikan rahmat yang cukup untuk menjalankan tugas tersebut. Sebagai pengikut Kristus, kita diajak untuk dengan berani menanggapi panggilan Tuhan dengan percaya bahwa Dia akan selalu menyertai. Saya percaya bahwa Tuhan tidak memanggil yang sempurna, tetapi Dia menyempurnakan yang dipanggil.
Diakon Fransiskus Emanuel,CP akan menerima sarapan Imamat sebagai Imam Katolik dari Kongregasi Pasionis yang berkarya di Keuskupan Sanggau,Kalimantan Barat pada 1 Maret 2025. **